Sumber:Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
{{{lambang}}} Lambang Kabupaten Nagekeo |
|
Peta lokasi Kabupaten Nagekeo Koordinat: |
|
Provinsi | Nusa Tenggara Timur |
Dasar hukum | UU No. 2 Tahun 2007 |
Ibu kota | Mbay, Aesesa |
Pemerintahan | |
- DAU | Rp. 334.481.490.000.-(2013)[1] |
Luas | 1.386 km2 |
Populasi | |
- Total | 110.147 jiwa |
- Kepadatan | 79,47 jiwa/km2 |
Demografi | |
Pembagian administratif | |
- Kecamatan | 7 |
- Kelurahan | 90 kelurahan dan desa |
- Situs web | - |
Kabupaten Nagekeo adalah kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia berdasarkan UU No. 2 tahun 2007. Peresmiannya dilakukan tanggal 22 Mei 2007 oleh Penjabat Mendagri Widodo A.S. dan Drs. Elias Djo ditunjuk sebagai penjabat bupati.[2]
Pusat pemerintaha Kabupaten Nagekeo berlokasi di Mbay. Luas wilayah 1.386 km2 persegi dan berpenduduk 110.147 jiwa. Wilayah ini merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Ngada.
Daftar kecamatan
Kabupaten Nagekeo untuk saat ini secara administratif terdiri dari 7 kecamatan, yaitu:
Dasar hukum
DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undangnya pada 8 Desember 2006. Kabupaten Nagekeo adalah 1 dari 16 kabupaten/kota baru yang dimekarkan pada 2006.
Dengan dasar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007, yang ditetapkan pada
tanggal 22 Mei 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Nagekeo sebagai daerah
otonom.
Letak geografis
Secara geografis kabupaten Nagekeo terletak pada koordinat 121˚.10'.48 - 121˚24'.4 Bujur Timur dan 8˚.26'15'- 8˚40'0 Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Nagekeo adalah 1.416,96 km2. Batas administrasi Kabupaten Nagekeo:
Utara | Laut Flores |
Selatan | Laut Sawu |
Barat | Kabupaten Ngada |
Timur | Kabupaten Ende |
Sejarah
Penelusuran terhadap sejarah pemerintahan dan komunitas Nagekeo, dapat ditemui sejak masuknya pemerintah Hindia-Belanda
sekitar 1909. Walaupun sebelumnya terdapat tata pemerintahan/
administrasi pemerintahan tradisional (berdasarkan hukum adat), akan
tetapi catatan valid dalam bentuk naskah akademik tentu tidak mudah
ditemukan. Kecuali melalui suatu penelitian sejarah yang mendalam,
terpadu dan komprehensif. Hal tersebut karena, tradisi lisan (dalam
kajian antropologis) lebih merupakan ciri yang paling menonjol dalam
komunitas masyarakat Nagekeo. Gregory Forth (2004), mengedit hasil studi Louis Fontijne dari suatu wilayah kolonial di Indonesia Timur dengan judul: Guardians of the Land in Kelimado. Philipus Tule
(2004), Longing for the House of God Dwelling in the House of the
Ancestors: Local Belief, Christianity, and Islam among the Kẻo of
Central Flores. Naskah yang disebutkan terakhir ini, merupakan hasil
studi antropologis yang mendeskripsikan fenomena komunitas masyarakat
ditinjau dari beberapa perspektif seperti etnografis, struktur kekuasaan
tradisional, sistem perkawinan dan hubungan antar agama (Katolik dan Islam) pada Secondary Sub-district Udi Worowatu, yang merupakan bagian dari Sub-district Kẻo. Walaupun demikian, studi-studi tersebut yang cenderung merupakan studi antropologis, mendeskripsikan sejarah pemerintahan Nagekẻo sangat terbatas.
Otoritas dan administrasi Pemerintahan Hindia Belanda, diperkirakan baru terbentuk di wilayah Ngada antara tahun 1908 – 1909. Dietrich
(Tule, 2004) menyatakan bahwa sampai dengan tahun 1907 wilayah Ngada,
belum menjadi otoritas administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Dalam
periode 1909 – 1950, afdeeling Flores terbagi ke dalam lima onderafdeeling yang mencakup 9 keswaprajaan (self-governing domains). Kelima onderafdeeling dimaksud adalah: Flores Timur (Swapraja: Adonara dan Larantuka), Maumere (Swapraja: Sikka), Ende (Swapraja: Ende dan Lio), Ngadha (Swapraja: Nagekeo, Bajawa dan Riung), Manggarai
(Swapraja: Manggarai). Onderafdeeling Ngadha terbagi ke dalam enam
wilayah subdistrik yaitu: Ngadha, Riung, Tado, Turing, Nage dan Keo.
Gagasan untuk menggabungkan Swapraja Nage dan Keo, mengemuka dalam
pertemuan antara pemerintah Hindia Belanda dengan Raja Boawae Roga Ngole dan Raja Keo Muwa Tunga di Boawae
tanggal 18 April 1917. Akan tetapi gagasan tersebut tidak dapat
direalisasikan. Ide untuk menggabungkan dua keswaprajaan, baru dapat
direalisasikan setelah meninggalnya Raja Keo: Muwa Tunga yang digantikan
oleh saudaranya: Goa Tunga
(Tule, 2004; Forth, 1994b, citing Hamilton, 1918). Di Boawae, juga
terjadi regenerasi kepemimpinan raja dari Roga Ngole kepada putranya Joseph Juwa Dobe
(Forth, 2004). Joseph Juwa Dobe, dilantik menjadi raja pada tanggal 26
Januari 1931, sekaligus sebagai simbol penggabungan swapraja Nage dan
Keo menjadi Swapraja Nagekeo. Dengan demikian, sejak tahun 1931
onderafdeeling Ngadha mencakup 3 swapraja yaitu: Nagekeo, Ngadha dan
Riung.
Dalam periode 1950 -1958, tidak terdapat perubahan substansif dari
struktur lembaga pemerintahan. Berdasarkan UU no. 64 tahun 1958 Provinsi
Nusa Tenggara dipecah menjadi Daerah Swatantra Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Daerah Tingkat I NTT meliputi daerah Flores, Sumba dan Timor.
Melalui UU nomor 69/1958 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II
dalam wilayah daerah tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur, maka daerah swatantra NTT dibagi menjadi 12 daerah
Swatantra Tingkat II yaitu: Sumba Barat, Sumba Timur, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Alor, Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu.
Pembentukan kecamatan pada masing-masing kabupaten di Provinsi Nusa
Tenggara Timur ditetapkan pada tanggal 28 Pebruari 1962. Melalui Surat
Keputusan Gubernur Kdh. Tk I NTT No. Pem. 66/ 1/ 2 tentang pembentukan
64 kecamatan dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Ngada
mencakup 6 Kecamatan,
yaitu: Ngadha Utara, Ngadha Selatan, Nage Utara, Nage Tangah, Keo dan
Kecamatan Riung. Pada tahun 1963 dikeluarkan Keputusan Gubernur Kepala
Drh. Tk. I NTT No. Pem. 66/ I/ 2 tanggal 20 Mei 1963 tentang pemekaran
Kecamatan Keo menjadi Kecamatan Mauponggo (yang merupakan wilayah Keo Barat) dan Kecamatan Nangaroro
(yang merupakan wilayah Keo Timur). Melalui keputusan tersebut, Nama
Kecamatan di Kabupaten Ngada diubah sebagai berikut: Kecamatan Ngada
Utara menjadi Kecamatan Bajawa; Kecamatan Ngaha Selatan menjadi
Kecamatan Aimere; Kecamatan Nage Tengah menjadi Kecamatan Boawae;
Kecamatan Nage Utara menjadi Kecamatan Aesesa; Kecamatan Keo menjadi
Kecamatan Mauponggo dan Kecamatan Nangaroro.
Pertengahan dekade 1990-2000, agenda pemindahan ibukota Kabupaten Ngada dari Bajawa ke Mbay,
mencapai puncaknya dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah nomor 65
tahun 1996, yang menetapkan Ibukota Kabupaten Ngada yang baru yaitu
Mbay. Ide dan gagasan tersebut menjadi kekuatan dengan sebelumnya (1994)
Mbay ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu(Kapet). Pergantian kepemimpinan Kepala Daerah (Bupati) Ngada pada tahun 2000 dari Drs. Johanes S. Aoh ke Ir. Albertus Nong Botha,
mengakibatkan dua agenda besar yaitu pemanfaatan kebijakan nasional
Kapet Mbay dan pemindahan ibukota Kabupaten Ngada ke Mbay, mengalami
masa pasang surut.
Masa pasang surut tersebut, yang secara substansif menjadi argumen
dan latar belakang lahirnya gagasan perjuangan pembentukan Kabupaten
Nagekeo sebagai pemekaran Kabupaten Ngada. Pada tahun 2002, Kabupaten
Ngada telah mencakup 14 wilayah kecamatan yaitu: Aimere, Ngada Bawa,
Bajawa, Golewa, Jerebu’u, So’a, Riung, Riung Barat, Aesesa, Nangaroro,
Boawae, Mauponggo, Wolowae, dan Keo Tengah. Bertepatan dengan
pengresmian Nagekeo sebagai suatu daerah otonom baru (Kabupaten), 22 Mei
2007, lingkup wilayahnya, mencakup 7 kecamatan yaitu: Aesesa, Aesesa
Selatan, Nangaroro, Boawae, Mauponggo, Wolowae, dan Keo Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar